29 Mei 2013

Selasa Malam yang (mungkin) Akan Dirindukan

     Selasa. Dikala senja telah menuju peraduan, maka disaat itu pulalah saya harus bersiap-siap untuk menemui salah seorang teman yang sudah menunggu agak lama di persimpangan jalan. Dia adalah Auliah. Yap, sejak sebulan yang lalu, sudah merupakan agenda rutin kami untuk bertemu di selasa malam guna mengadakan perjalanan dari satu kost teman ke kost teman yang lain. Tujuan utama kami sebenarnya adalah belajar   bersama sekaligus berburu jawaban tugas Metode Numerik yang setiap pekannya diperiksa dengan jeli oleh dosen. Bermodalkan sebuah alasan yang menyangkut akademik, kami berdua yang notabene adalah "anak rumahan", tentunya memperoleh lampu hijau untuk bepergian di malam hari. 

     Penyelesaian tugas yang begitu sulit terkadang membuat teman-teman mulai malas untuk mengerjakannya. Mereka memilih untuk menyalin pekerjaan teman lainnya di esok hari. Sesungguhnya, saya dan Auliah pun tahu bahwa kami berdua tidak akan jauh-jauh dari tindakan menyalin tugas di pagi hari. Toh, hanya beberapa dari kami yang benar-benar tekun dan bersabar untuk berusaha menemukan solusi dari setiap persoalan. Namun, selasa malam adalah selasa malam. Saya dan Auliah harus tetap menelusuri ubun-ubun kota dan membahas beberapa materi meskipun pada akhirnya tugas kami menjauhi kata rampung. 

     Saat melewati deretan pepohonan di kampus pada malam hari, Auliah hanya bisa bergumam, "ternyata begini ya suasana kampus di malam hari..," lalu kami sama-sama terdiam. Malam memang selalu lekat dengan kesunyian, serupa kenangan yang kian menuai. Begitu juga ketika kami memutuskan untuk menikmati makan malam di daerah pondokan sekitar kampus. Saya sangat menikmati saat-saat dimana saya tak merasa dikhawatirkan, karena mungkin saja kebebasan merupakan salah satu indikasi dari kepercayaan. Dan yang terpenting, keinginan saya untuk menjadi 'anak kost sejati' seperti terealisasi.

     Malam ini saya dan Auliah kembali mengarungi keremangan kota yang kerap mengerjap. Bersama Jihan, kami bertiga berkutat menyelesaikan tugas final yang diberikan oleh dosen pekan lalu. Ya, tugas tersebut adalah tugas terakhir dari mata kuliah Metode Numerik. Namun, lagi-lagi kami menemui kesulitan. Digit yang begitu banyak serta perhitungan yang terkadang keliru membuat kami stuck pada metode pertama. 

tulis tangan, salah hitung

pake Ms.Excel, malah bingung -..-

     Sesampainya di rumah, saya pun berniat untuk melanjutkan tugas tadi semampunya. Tiba-tiba, sebuah pesan dari Jihan membatalkan niat saya. "Jangan ko ikuti itu, salah lagi. Dapatma' yang paling mendekati." Selalu saja, selalu saja begini. Selasa malam yang seharusnya menjadi jalan keluar untuk menuntaskan tugas, justru menambah beban pada esok harinya. Selasa malam yang seharusnya membuat saya lega, justru membuat saya kepikiran. Hmm, entahlah. Mungkin saja ini yang menjadi penyebab selasa malam akan dirindukan ...

18 Mei 2013

Fight for UAS

Ujian merupakan sebuah alat ukur untuk menentukan keberhasilan belajar seseorang. Ada juga yang berpendapat bahwa ujian adalah kesusahan pada tubuh dan jiwa. Oh, bagaimana mungkin empat bulan bisa berlalu begitu cepat tanpa saya sadari. Kini, peperangan tinggal menghitung hari. Ujian Akhir Semester telah menanti. 

Dan.. untuk itu, yang diperlukan hanyalah raga yang akan bertahan lebih jauh dari biasanya, otak yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, tubuh yang akan lebih sering menopang, tangan yang akan lebih kuat men"cakar", dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa.. *kemudian naik Gunung Semeru*

Saatnya menajamkan kembali ingatan. Memamah "persamaan" lalu memaksanya untuk dijejalkan. Demi ujian, kawan.....

para pejuang Aljabar \m/

(ki-ka) Nina, Riska, Winda I, Susi, Ainun, Winda II, Ulfah, Nunuu


soal latihan Sub Grup pada Struktur Aljabar


14 Mei 2013

Sepenggal Kisah di Hari Senin

Seperti biasa, hari Senin selalu menghadirkan sebuah perpisahan yang begitu romantis antara saya dan tempat tidur. Karena perkuliahan hari ini dimulai pada pukul 09.55, maka saya memanfaatkannya dengan leyeh-leyeh sejenak hingga pukul 09.00. Tak terasa, arloji di pergelangan saya sudah menunjukkan pukul 10.30 dan saya masih bisa duduk manis di pete-pete. Sehubungan dengan tidak adanya pulsa dan sms yang masuk, maka beberapa dugaan mulai bermunculan di kepala saya.
  • Dugaan pertama, teman-teman se-prodi tidak mengirimi saya pesan karena dosen belum datang.
  • Dugaan kedua, teman-teman se-prodi tidak mengirimi saya pesan karena dosen sudah datang dan tiba-tiba memberikan kuis.
  • Dugaan ketiga, perkuliahan telah dimulai dan teman-teman se-prodi tidak mengirimi saya pesan karena sudah jenuh dengan keterlambatan saya.

Masih dengan pemikiran bahwa poin pertama adalah dugaan yang paling tepat, saya tetap berjalan santai seolah-olah matahari belum terbit. Tiba di depan rektorat, rupanya saya harus menerobos antrian calon peserta SBMPTN yang hendak membeli pin. Saya mulai mempercepat langkah, sesekali berlari-lari kecil, naik ke lantai dua, lantai tiga, dan akhirnya tiba di depan jurusan tercinta. Dari arah yang berlawanan, Kak Sis (sapaan akrab dari saya), senior dari prodi Statistik, tiba-tiba berbicara dengan agak keras. ”Nyak, nyak, terlambat meko nyak....”  Duh. Saya semakin gugup.

Sebenarnya, terlambat masuk kelas adalah sesuatu yang sudah menjadi ritual setiap harinya bagi saya. Jika ditanya oleh penghuni kelas, maka otomatis saya akan menjawab “biasaaa, macet di adipura”, tentunya dengan sebuah nyengiran khas. Hanya saja, terlambat di hari Senin cukup menegangkan karena selain dosennya lumayan ‘unyu’, kelas saya terpaksa digabung dengan kelas teman se-prodi lainnya. Sungguh, dengan jumlah yang tidak sedikit saya harus menerima sekelumit materi PDP (Persamaan Differensial Parsial) secara berjamaah dengan kondisi otak yang uhuk, memprihatinkan.

Tibalah saat dimana akhirnya saya memberanikan diri untuk membuka pintu kelas. Pintu terbuka dan orang pertama yang menatap saya adalah Pak Differensial (nama disamarkan). Saya melemparkan senyuman ke arahnya, namun ia tak membalasnya. Sambil menunggu Pak Differensial yang sepertinya ingin mengutarakan beberapa kalimat, saya mulai mengamati suasana kelas yang agak terlihat lengang. Wah, saya baru sadar kalau yang berada di ruangan ini hanya teman se-prodi dari kelas ganjil. Lalu, anak kelas genap kuliah dimana? Gawat.

Tanpa memedulikan tatapan aneh dari Pak Differensial, saya tetap ingin meneruskan langkah saya menuju bangku yang masih kosong. Tiba-tiba ........
(Dengan dialek Makassar)
Pak Differensial : “Hey, kamu asalnya dari kelas ganjil atau genap?” Sebuah suara menghentikan langkah saya.
Nunuu : “Dari kelas genap, Pak,” seisi kelas mulai gaduh.
Pak Differensial : “Nah, kelasmu di PB 133 sekarang. Sudah ada Pak Parsial (nama disamarkan lagi) mengajar disana.”
Nunuu : “Ngngngng, masuk disini meka saja deh, Pak,” beberapa penghuni kelas mulai cekikikan.
Pak Differensial : “Loh, kenapa mau masuk disini? Ke kelasmu mo saja, tidak sama itu bahan ajaranku Pak Parsial.”
Nunuu : “Terlambat mih, Pak. Disini meka belajar PDP nah, nanti minggu depan kembali ka’ ke kelasku hehe (serius pake hehe).”
Pak Differensial : “Ha..ha.. Materi disini sudah semua mi mupelajari. Kesana mi saja, lain kali pi nah kuliah sama saya... ”
Nunuu : “Tidak apa-apa jih, Pak. Disini meka saja kuliah di’, takutma’ masuk di kelasku, Pak.” Suasana kelas makin ricuh.
Pak Differensial : “Disana mi ...”
Nunuu : “Pak, disini mo nah...”
Pak Differensial : “Disana mi ...”
beberapa menit kemudian ...
Nunuu : “Pak, disini mo nah...”
Pak Differensial : “Disana mi ...”
Nunuu : “Pak, kalau ditanya ka’ pade sama Pak Parsial kenapa terlambat, alasanku salah masuk kelas mo di’.”
Pak Differensial : “....................................................”

Dengan tergesa-gesa akhirnya saya keluar dari kelas yang salah dan berusaha secepat mungkin tiba di kelas yang tepat. Entahlah, saya pun tidak pernah membayangkan akan melakukan proses tawar-menawar semacam itu bersama Pak Differensial. Ketika melewati pintu samping Perpustakaan Pusat, hampir saja saya menabrak seseorang yang, eh, rupanya Kak Sis lagi.
“Ciyeeeh, dikasi keluarko dari kelas, iyo?” Tampaknya Kak Sis lupa mengecilkan volume suaranya.
Bukan kak, salah masuk kelas ka’ ”
“Hahahahahahaha..........”

Pintu ruangan PB 133 berderit nyaring. Sudah ada Pak Parsial yang menyambut kedatangan saya dengan Persamaan Laplace yang hampir memenuhi dua buah papan tulis di dinding kelas. Ah... seandainya Pak Differensial tidak menolak saya untuk menerima materi di kelasnya, mungkin saya tidak akan bosan seperti ini. Ini Seninku, bagaimana dengan Seninmu?

13 Mei 2013, PB 133 MKU
salam rindu untuk Pak Mawardi ~

12 Mei 2013

SUNNY


Sunny merupakan nama kelompok dari tujuh pelajar SMA yang berasal dari latar belakang, sifat, dan kesukaan yang berbeda pada pertengahan tahun 80-an. Mereka adalah Im Na Mi, Ha Chun Hwa, Kim Jang Mi, Hwang Jin Hee, Seo Geum Ok, Ryu Bok Hee, dan Su-Ji

Film ini menggunakan alur flashback dimana Im Na Mi, gadis yang dulunya adalah murid pindahan dari daerah dengan aksen logat yang masih kental, kini telah berkeluarga dan kaya raya. Saat dia menjenguk ibu mertuanya di sebuah Rumah Sakit, dia tidak sengaja bertemu dengan Ha Chun Hwa, pemimpin dari Sunny, setelah 25 tahun terpisah. Ha Chun Hwa yang dulu terkenal jago bela diri dan selalu melindungi anggota Sunny, mengidap kanker dan hanya bisa bertahan selama dua bulan lagi. Karena itulah, sebelum meninggal Ha Chun Hwa ingin bertemu dengan semua anggota Sunny. Im Na Mi pun berjanji untuk memenuhi keinginan Ha Chun Hwa.

Setelah menyewa detektif dan memasang iklan di koran, akhirnya Na Mi berhasil menemukan kelima sahabatnya. Sayangnya, mereka berkumpul tepat di hari pemakaman Chun Hwa. 


Saat menyaksikan film ini, terkadang saya terbahak-bahak, terkadang juga berusaha mengingat nama dan wajah si pemain saat remaja, dan bahkan sempat menitikkan air mata. Saya termasuk orang yang sesekali menceritakan harapan atau semacam keinginan ke depannya kepada orang-orang terdekat. Memposisikan diri layaknya anggota Sunny tentunya membuat saya berpikir apakah saya akan bertemu dengan sahabat-sahabat saya nanti di waktu yang tepat dengan kondisi yang juga tepat? Apakah langkah yang telah kita pilih sekarang ini merupakan jalan menuju cita-cita kita masing-masing? 

Beberapa pekan terakhir ini saya memang sedang gencar-gencarnya mencari informasi mengenai serial drama atau film korea yang recommended. "Nunuu Telat 4LaY", ujar beberapa teman saya. Terserah lah mau disebut apa, setidaknya serial atau film korea mampu meningkatkan daya imajinasi dan memperdalam pengetahuan kita akan budaya dan bahasa disana. Setuju, chingu? *eaaak
PhotobucketPhotobucketPhotobucket
  • Oh iya, terima kasih untuk Tha yang telah merekomendasikan film ini untuk ditonton :')

10 Mei 2013

Arisan

zzzz... 

Saat ini saya sedang duduk termangu di salah satu kedai kopi di Jl. Perintis Kemerdekaan. Karena semalam kami telah sepakat untuk bertemu di tempat ini pukul 15.00, maka saya berusaha untuk datang lebih awal. Rupanya, tak seorang pun dari mereka saya temui saat mencoba menelusuri ruangan ini. Mereka yang sampai saat ini membuat saya gusar karena menunggu yakni sahabat-sahabat saya semasa SMA. Sejak sebulan yang lalu, kami telah menjadwalkan sebuah pertemuan setiap bulannya guna melaksanakan arisan. Iya, arisan. Arisan yang dikenal sebagai kegiatan mengumpulkan uang yang bernilai sama oleh beberapa orang, yang kemudian para peserta arisan tersebut akan mengundi untuk menentukan siapa penerima uang pada periode tersebut.


Sesungguhnya, arisan yang kami lakukan ini hanyalah sebuah media agar silaturrahmi diantara kami tetap terjalin. Bahkan, dua orang dari mereka juga turut berpartisipasi meskipun sedang menuntut ilmu di luar Makassar. Arisan memang seringkali dijadikan sarana oleh mereka yang terlilit kesibukan namun masih mempunyai usaha untuk saling bercengkrama dengan orang terdekat. Jadi, menurut saya sah-sah saja mengadakan sebuah arisan selama itu bermanfaat dan menyenangkan. Hey, tampak dari kejauhan Acik dan Khatmi berjalan ke arah meja dimana saya menuliskan postingan ini. Selamat menikmati akhir pekan, dan selamat ber-arisan ... :')

9 Mei 2013

Putih Abu-abu

Senin hingga sabtu. Lembut kaki ini berayun. Derap langkah yang kian menggema. Pertanda sebuah cemas yang disuarakan. Aku terlambat. Lagi. Gelak canda tawa mulai terdengar dari beberapa ruang. Bagai disulap, cemasku memudar perlahan. Kawanku masih berceloteh riang. Aku aman.

Di bawah teduhnya atap bangunan. Begitu banyak pilihan. Tangisan, harapan, impian, persahabatan, kebosanan, dan perbedaan. Tak akan koyak ditelan angin perubahan. Tak akan lesap dirampas takdir perjodohan. 

Tiga tahun lamanya. Sebuah pisah yang tak dapat kita hentikan. Dan waktu yang terus-menerus mengulang kehilangan. Aku, kau, kalian, dan mereka, kita sama-sama tahu. Bahwa segala kenangan akan menjelma menjadi makhluk-makhluk seram yang akan merenggut malam-malam kita. Ya, mereka bernama sepi.

Bait demi bait kini kuhadirkan. Sebab aku masih terjaga. Atau mungkin saja karena sebuah kewaspadaan. Untuk mereka di hari-hari mendatang. Yang akan menenggelamkanmu dalam ingatan ~


kurus :3

2 Mei 2013

Entah

"tidak butuh penyesalan jika kita masih mengeja saat mereka sudah membaca. Karena yang lebih penting adalah apa yang kita eja dan apa yang mereka baca"

Kuharap kalimat diatas mampu menyelipkan sisa-sisa asa dalam saraf jenuhku. Tak tahu lagi bagaimana mendeskripsikan kepenatan ini. Tak tahu lagi harus bagaimana saat membayangkan ujung nasib yang, hm, abu-abu. 

Beberapa hari yang lalu aku berjumpa dengannya, adalah salah satu teman baikku. Di sebuah ruangan di dalam perpustakaan, kutemani dia mengerjakan tugas kuliahnya. Tugasnya sangat banyak. Namun dia menikmatinya. Lalu kulontarkan beberapa pertanyaan mengenai materi perkuliahannya. Ada keluhan dalam setiap penjelasannya, namun tetap saja dia menikmatinya. Dia balik bertanya kepadaku. Ha-ha-ha, ingin rasanya aku tertawa. 
"... entahlah. Semakin kesini, materiku perkuliahanku semakin mengada-ada," berikut potongan kalimatku saat menjawab pertanyaannya. 
"Hahahahaha. Tenang Nuu, masih ada kesempatan. Masuk di jurusanku saja," ujarnya. 

Menyesal. Aduh, kenapa dulunya aku memilih itu? Kenapa dulunya aku tidak belajar sungguh-sungguh? Bukan, ini bukan masalah penyesalan. Kalaupun aku mampu menjelma ke masa lalu, pilihanku tetap. Sungguh. Hanya saja, hmmm.... entahlah.

Sejak di bangku Taman Kanak-kanak, kita disuguhi perhitungan. Hingga menginjak bangku Sekolah Menengah Atas, kita tetap disuguhi materi perhitungan. Tiga belas tahun, dan aku menyukainya. Lalu, kucoba menapaki jejak jalan yang kusukai. Pagi, siang, malam, kulalui. Setiap hari. Sampai suatu saat aku lelah, hingga berhari-hari. Aku tertinggal, namun aku masih menyemangati diri. Berjalan lagi, namun tak pasti. Sampai akhirnya jenuh seperti ini. 

Sudah sepatutnya aku menyesal atas setiap tindakan buruk di masa lalu. Namun, menyesal karena telah memilih jalan ini kurasa tidak perlu. "Hidup ini adalah sebuah pembelajaran, dan jika kita berniat ke masa lalu untuk mengubahnya, itu namanya bukan pembelajaran," kata seseorang. Mungkin ini waktunya untuk mengistirahatkan kepala yang terus menderu deras sejenak. Semoga tidak ada kejenuhan lagi setelahnya ... :')

Sore hari, rintik hujan menemani. Begitu juga di pipi.