Seperti
biasa, hari Senin selalu menghadirkan sebuah perpisahan yang begitu romantis
antara saya dan tempat tidur. Karena perkuliahan hari ini dimulai pada pukul
09.55, maka saya memanfaatkannya dengan leyeh-leyeh
sejenak hingga pukul 09.00. Tak
terasa, arloji di pergelangan saya sudah menunjukkan pukul 10.30 dan saya masih
bisa duduk manis di pete-pete. Sehubungan
dengan tidak adanya pulsa dan sms
yang masuk, maka beberapa dugaan mulai bermunculan di kepala saya.
- Dugaan pertama, teman-teman se-prodi tidak mengirimi saya pesan karena dosen belum datang.
- Dugaan kedua, teman-teman se-prodi tidak mengirimi saya pesan karena dosen sudah datang dan tiba-tiba memberikan kuis.
- Dugaan ketiga, perkuliahan telah dimulai dan teman-teman se-prodi tidak mengirimi saya pesan karena sudah jenuh dengan keterlambatan saya.
Masih
dengan pemikiran bahwa poin pertama adalah dugaan yang paling tepat, saya tetap
berjalan santai seolah-olah matahari belum terbit. Tiba di depan rektorat, rupanya
saya harus menerobos antrian calon peserta SBMPTN yang hendak membeli pin. Saya
mulai mempercepat langkah, sesekali berlari-lari kecil, naik ke lantai dua,
lantai tiga, dan akhirnya tiba di depan jurusan tercinta. Dari arah yang
berlawanan, Kak Sis (sapaan akrab dari saya), senior dari prodi Statistik,
tiba-tiba berbicara dengan agak keras. ”Nyak,
nyak, terlambat meko nyak....” Duh.
Saya semakin gugup.
Sebenarnya,
terlambat masuk kelas adalah sesuatu yang sudah menjadi ritual setiap harinya
bagi saya. Jika ditanya oleh penghuni kelas, maka otomatis saya akan menjawab
“biasaaa, macet di adipura”, tentunya dengan sebuah nyengiran khas. Hanya saja,
terlambat di hari Senin cukup menegangkan karena selain dosennya lumayan
‘unyu’, kelas saya terpaksa digabung dengan kelas teman se-prodi lainnya. Sungguh,
dengan jumlah yang tidak sedikit saya harus menerima sekelumit materi PDP
(Persamaan Differensial Parsial) secara berjamaah dengan kondisi otak yang uhuk,
memprihatinkan.
Tibalah
saat dimana akhirnya saya memberanikan diri untuk membuka pintu kelas. Pintu
terbuka dan orang pertama yang menatap saya adalah Pak Differensial (nama
disamarkan). Saya melemparkan senyuman ke arahnya, namun ia tak membalasnya.
Sambil menunggu Pak Differensial yang sepertinya ingin mengutarakan beberapa
kalimat, saya mulai mengamati suasana kelas yang agak terlihat lengang. Wah,
saya baru sadar kalau yang berada di ruangan ini hanya teman se-prodi dari
kelas ganjil. Lalu, anak kelas genap kuliah dimana? Gawat.
Tanpa
memedulikan tatapan aneh dari Pak Differensial, saya tetap ingin meneruskan
langkah saya menuju bangku yang masih kosong. Tiba-tiba ........
(Dengan
dialek Makassar)
Pak
Differensial : “Hey, kamu asalnya dari
kelas ganjil atau genap?” Sebuah suara menghentikan langkah saya.
Nunuu
: “Dari kelas genap, Pak,” seisi kelas
mulai gaduh.
Pak
Differensial : “Nah, kelasmu di PB 133
sekarang. Sudah ada Pak Parsial (nama disamarkan lagi) mengajar disana.”
Nunuu
: “Ngngngng, masuk disini meka saja deh,
Pak,” beberapa penghuni kelas mulai cekikikan.
Pak
Differensial : “Loh, kenapa mau masuk
disini? Ke kelasmu mo saja, tidak sama itu bahan ajaranku Pak Parsial.”
Nunuu
: “Terlambat mih, Pak. Disini meka
belajar PDP nah, nanti minggu depan kembali ka’ ke kelasku hehe (serius
pake hehe).”
Pak
Differensial : “Ha..ha.. Materi disini
sudah semua mi mupelajari. Kesana mi saja, lain kali pi nah kuliah sama saya...
”
Nunuu
: “Tidak apa-apa jih, Pak. Disini meka
saja kuliah di’, takutma’ masuk di kelasku, Pak.” Suasana kelas makin ricuh.
Pak
Differensial : “Disana mi ...”
Nunuu
: “Pak, disini mo nah...”
Pak
Differensial : “Disana mi ...”
beberapa menit
kemudian ...
Nunuu
: “Pak, disini mo nah...”
Pak
Differensial : “Disana mi ...”
Nunuu
: “Pak, kalau ditanya ka’ pade sama Pak
Parsial kenapa terlambat, alasanku salah masuk kelas mo di’.”
Pak
Differensial : “....................................................”
Dengan
tergesa-gesa akhirnya saya keluar dari kelas yang salah dan berusaha secepat
mungkin tiba di kelas yang tepat. Entahlah, saya pun tidak pernah membayangkan
akan melakukan proses tawar-menawar semacam itu bersama Pak Differensial. Ketika melewati pintu samping Perpustakaan Pusat, hampir saja saya menabrak
seseorang yang, eh, rupanya Kak Sis lagi.
“Ciyeeeh, dikasi keluarko dari kelas, iyo?”
Tampaknya Kak Sis lupa mengecilkan volume suaranya.
“Bukan kak, salah masuk kelas ka’ ”
“Hahahahahahaha..........”
Pintu
ruangan PB 133 berderit nyaring. Sudah ada Pak Parsial yang menyambut kedatangan
saya dengan Persamaan Laplace yang hampir memenuhi dua buah papan tulis di
dinding kelas. Ah... seandainya Pak Differensial tidak menolak saya untuk menerima materi di kelasnya, mungkin saya tidak akan bosan seperti ini. Ini Seninku, bagaimana dengan Seninmu?
13 Mei 2013, PB 133 MKU
salam rindu untuk Pak Mawardi ~
salam rindu untuk Pak Mawardi ~
2 komentar:
mantap
-______-
Posting Komentar