14 Mei 2013

Sepenggal Kisah di Hari Senin

Seperti biasa, hari Senin selalu menghadirkan sebuah perpisahan yang begitu romantis antara saya dan tempat tidur. Karena perkuliahan hari ini dimulai pada pukul 09.55, maka saya memanfaatkannya dengan leyeh-leyeh sejenak hingga pukul 09.00. Tak terasa, arloji di pergelangan saya sudah menunjukkan pukul 10.30 dan saya masih bisa duduk manis di pete-pete. Sehubungan dengan tidak adanya pulsa dan sms yang masuk, maka beberapa dugaan mulai bermunculan di kepala saya.
  • Dugaan pertama, teman-teman se-prodi tidak mengirimi saya pesan karena dosen belum datang.
  • Dugaan kedua, teman-teman se-prodi tidak mengirimi saya pesan karena dosen sudah datang dan tiba-tiba memberikan kuis.
  • Dugaan ketiga, perkuliahan telah dimulai dan teman-teman se-prodi tidak mengirimi saya pesan karena sudah jenuh dengan keterlambatan saya.

Masih dengan pemikiran bahwa poin pertama adalah dugaan yang paling tepat, saya tetap berjalan santai seolah-olah matahari belum terbit. Tiba di depan rektorat, rupanya saya harus menerobos antrian calon peserta SBMPTN yang hendak membeli pin. Saya mulai mempercepat langkah, sesekali berlari-lari kecil, naik ke lantai dua, lantai tiga, dan akhirnya tiba di depan jurusan tercinta. Dari arah yang berlawanan, Kak Sis (sapaan akrab dari saya), senior dari prodi Statistik, tiba-tiba berbicara dengan agak keras. ”Nyak, nyak, terlambat meko nyak....”  Duh. Saya semakin gugup.

Sebenarnya, terlambat masuk kelas adalah sesuatu yang sudah menjadi ritual setiap harinya bagi saya. Jika ditanya oleh penghuni kelas, maka otomatis saya akan menjawab “biasaaa, macet di adipura”, tentunya dengan sebuah nyengiran khas. Hanya saja, terlambat di hari Senin cukup menegangkan karena selain dosennya lumayan ‘unyu’, kelas saya terpaksa digabung dengan kelas teman se-prodi lainnya. Sungguh, dengan jumlah yang tidak sedikit saya harus menerima sekelumit materi PDP (Persamaan Differensial Parsial) secara berjamaah dengan kondisi otak yang uhuk, memprihatinkan.

Tibalah saat dimana akhirnya saya memberanikan diri untuk membuka pintu kelas. Pintu terbuka dan orang pertama yang menatap saya adalah Pak Differensial (nama disamarkan). Saya melemparkan senyuman ke arahnya, namun ia tak membalasnya. Sambil menunggu Pak Differensial yang sepertinya ingin mengutarakan beberapa kalimat, saya mulai mengamati suasana kelas yang agak terlihat lengang. Wah, saya baru sadar kalau yang berada di ruangan ini hanya teman se-prodi dari kelas ganjil. Lalu, anak kelas genap kuliah dimana? Gawat.

Tanpa memedulikan tatapan aneh dari Pak Differensial, saya tetap ingin meneruskan langkah saya menuju bangku yang masih kosong. Tiba-tiba ........
(Dengan dialek Makassar)
Pak Differensial : “Hey, kamu asalnya dari kelas ganjil atau genap?” Sebuah suara menghentikan langkah saya.
Nunuu : “Dari kelas genap, Pak,” seisi kelas mulai gaduh.
Pak Differensial : “Nah, kelasmu di PB 133 sekarang. Sudah ada Pak Parsial (nama disamarkan lagi) mengajar disana.”
Nunuu : “Ngngngng, masuk disini meka saja deh, Pak,” beberapa penghuni kelas mulai cekikikan.
Pak Differensial : “Loh, kenapa mau masuk disini? Ke kelasmu mo saja, tidak sama itu bahan ajaranku Pak Parsial.”
Nunuu : “Terlambat mih, Pak. Disini meka belajar PDP nah, nanti minggu depan kembali ka’ ke kelasku hehe (serius pake hehe).”
Pak Differensial : “Ha..ha.. Materi disini sudah semua mi mupelajari. Kesana mi saja, lain kali pi nah kuliah sama saya... ”
Nunuu : “Tidak apa-apa jih, Pak. Disini meka saja kuliah di’, takutma’ masuk di kelasku, Pak.” Suasana kelas makin ricuh.
Pak Differensial : “Disana mi ...”
Nunuu : “Pak, disini mo nah...”
Pak Differensial : “Disana mi ...”
beberapa menit kemudian ...
Nunuu : “Pak, disini mo nah...”
Pak Differensial : “Disana mi ...”
Nunuu : “Pak, kalau ditanya ka’ pade sama Pak Parsial kenapa terlambat, alasanku salah masuk kelas mo di’.”
Pak Differensial : “....................................................”

Dengan tergesa-gesa akhirnya saya keluar dari kelas yang salah dan berusaha secepat mungkin tiba di kelas yang tepat. Entahlah, saya pun tidak pernah membayangkan akan melakukan proses tawar-menawar semacam itu bersama Pak Differensial. Ketika melewati pintu samping Perpustakaan Pusat, hampir saja saya menabrak seseorang yang, eh, rupanya Kak Sis lagi.
“Ciyeeeh, dikasi keluarko dari kelas, iyo?” Tampaknya Kak Sis lupa mengecilkan volume suaranya.
Bukan kak, salah masuk kelas ka’ ”
“Hahahahahahaha..........”

Pintu ruangan PB 133 berderit nyaring. Sudah ada Pak Parsial yang menyambut kedatangan saya dengan Persamaan Laplace yang hampir memenuhi dua buah papan tulis di dinding kelas. Ah... seandainya Pak Differensial tidak menolak saya untuk menerima materi di kelasnya, mungkin saya tidak akan bosan seperti ini. Ini Seninku, bagaimana dengan Seninmu?

13 Mei 2013, PB 133 MKU
salam rindu untuk Pak Mawardi ~